Dalam pandangan Allah, kemuliaan seseorang bukan hanya dilihat dari sisi lahirnya sahaja seperti rupa yang cantik atau tampan, harta yang berlimpah ruah mahupun keturunan yang baik, akan tetapi Allah hanya melihat amal hati seperti keikhlasan, rasa khauf (takut), ketundukan dan juga amal anggota badan seperti solat, puasa, dan selainnya.
Berapa banyak dari manusia yang memiliki banyak harta, mempunyai kecantikan dan ketampanan rupa serta mengungguli jawatan yang tinggi, akan tetapi hatinya kosong dari ketakwaan dan keikhlasan serta tidak memiliki amalan soleh.
Sebaliknya, berapa banyak dari manusia yang miskin kedana, hidup seadanya, rupa yang biasa sahaja namun, ia di sisi Allah mempunyai nilai dan posisi yang tinggi lagi mulia di kalangan para penduduk langit.
Tidak mustahil, mereka yang kita anggap ‘hina’ ini barangkali di suatu masa, mereka lah yang menjadi harapan kita di dunia. Atau mungkin, berkat doanya mampu kita merasai kenikmatan yang mendalam hingga menuju ke syurga Allah yang indah.
Maha Benar Allah atas firman-Nya yan agung;
“Maka janganlah engkau menilai dirimu lebih suci (dibanding orang lain). Dia (Allah) lebih tahu siapa orang-orang yang bertakwa.” (QS. an-Najm 32)
Usamah bin Zaid ra berkata; “Rasulullah SAW mengutus kami ke daerah Huraqah dari suku Juhainah, kemudian kami serang mereka secara tiba-tiba pada pagi hari di tempat air mereka. Saya dan seseorang dari kaum Ansar bertemu dengan seorang lelaki dari golongan mereka. Setelah kami dekat dengannya, ia lalu mengucapkan, “Laa ilaha illallah”. Orang dari sahabat Ansar menahan diri dari membunuhnya, sedangkan aku menusuknya dengan tombakku hingga membuatnya terbunuh. Sesampainya di Madinah, peristiwa itu didengar oleh Rasulullah SAW. lalu beliau SAW bersabda;
“Bukankah ia telah mengucapkan Laa ilaha illallah, mengapa engkau membunuhnya?” Saya menjawab, “Wahai Rasululloh, ia mengucapkan itu semata-mata kerana takut dari senjata.” Beliau bersabda, “Mengapa engkau tidak belah saja hatinya hingga engkau dapat mengetahui, apakah ia mengucapkannya kerana takut sahaja atau tidak?” Beliau mengulang-ulang ucapan tersebut hingga aku berharap seandainya aku masuk Islam hari itu sahaja.” (HR. Muslim).
Dari dalil di atas, dengan izin Allah dapat kita mengambil hikmah bahawa kita tidak berhak menilai keimanan dan isi hati orang lain, kerana hanya Allah dan orang tersebut yang mengetahuinya.
Wahai Saudara seIslamku (termasuk diriku sendiri), belajarlah untuk bersikap tawadhu’ (rendah hati) terhadap orang lain dan jangan pernah ada benih-benih kesombongan dalam diri kita walaupun itu hanya sebesar biji sawi.
Maha Benar Allah di atas firman-Nya yang agung;
“ Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (kerana sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman 18).
Dari Iyadh bin Himar ra, Rasulullah SAW bersabda;
“ Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian bersikap rendah hati (tawadhu’) hingga tidak seorang pun yang bangga atas yang lain dan tidak ada yang berbuat aniaya terhadap yang lain.” (HR. Muslim).
Kesombongan itu ada 2 iaitu terhadap;
- Al-Quran dan Al-Hadits – Mengetahui bahawa Al-Quran dan Al-Hadits adalah sesuatu yang haq tetapi, diri tidak sesekali mahu menetapinya.
- Sesama Manusia – Meremehkan dan menganggap orang lain tidak ada apa-apanya. Sangat bahaya ketika seseorang menyombongkan dirinya di hadapan manusia lainnya hanya merasa ilmu yang sudah dikuasainya malah dia merasa berhak untuk menilai amalan dan isi hati seseorang.
Seorang Guru Sufi di tanya akan dua keadaan manusia;
- Manusia rajin sekali ibadahnya, namun sombong, angkuh dan selalu merasa suci
- Manusia yang sangat jarang ibadah, namun akhlaknya begitu mulia, rendah hati, santun, lembut dan cinta dengan sesama manusia
Lalu Sang Guru Sufi itu menjawab;
Keduanya baik. Boleh jadi suatu saat si ahli ibadah yang sombong menemukan kesedaran tentang akhlaknya yang buruk dan dia bertaubat lalu ia akan menjadi peribadi yang baik zahir dan batinnya. Yang kedua, boleh jadi sebab kebaikan hatinya, Allah akan menurunkan hidayah lalu ia menjadi ahli ibadah yang juga memiliki kebaikan zahir dan batin.
Kemudian orang tersebut bertanya, lalu siapa yang tidak baik kalau begitu?
Sang Guru Sufi menjawab; “Yang tidak baik adalah kita, orang ketiga yang selalu mampu menilai orang lain, namun lalai dari menilai diri sendiri”.

Imam Al Ghazali mengajarkan agar seseorang dengan izin Allah bisa bersikap tawadhu’ dengan melakukan 5 cara berikut;
- Jika engkau melihat orang yang masih muda, maka katakan dalam hatimu; ‘Orang ini belum banyak durhaka kepada Allah, sedangkan aku sudah banyak durhaka pada Allah. Tidak diragukan lagi orang ini lebih baik dariku’.
- Jika engkau melihat orang yang lebih tua, katakan dalam hatimu; ‘Orang ini sudah beribadah sebelum aku, dengan begitu tidak diragukan lagi bahwa dia lebih baik dariku’.
- Jika engkau melihat orang alim (berilmu), katakan dalam hatimu; ‘Orang ini sudah diberi kelebihan yang tidak diberikan kepadaku. Dia menyampaikan suatu kebaikan kepada orang lain sedangkan aku tidak menyampaikan apa-apa. Dia tahu hukum-hukum yang tidak aku ketahui. Maka bagaimana mungkin aku sama dengannya?’
- Jika engkau bertemu dengan orang bodoh, kurang ilmu dan wawasan, katakan dalam hatimu; ‘Orang ini sudah berbuat maksiat / durhaka kepada Allah kerana ketidaktahuannya sedangkan aku berbuat maksiat / durhaka kepada Allah dengan pengetahuanku, maka hukuman Allah kepadaku lebih berat dibanding orang ini. Dan aku tidak tahu bagaimana akhir hidupku dan akhir hidup orang ini’.
- Jika engkau melihat orang kafir, maka katakan dalam hatimu; ‘Aku tidak tahu, bisa jadi dia akan masuk Islam dan jadi orang iman dan mengisi akhir hidupnya dangan amal kebaikan, dan dengan keimanannya itu maka dosa-dosanya keluar dari dirinya seperti keluarnya rambut dari timbunan tepung. Sedangkan aku, bisa jadi tersesat dari Allah (kerana tidak mau meningkatkan iman) dan akhirnya menjadi kafir, dan hidupku berakhir dengan amal buruk (su’ul khotimah). Orang seperti ini bisa jadi esok menjadi orang yang dekat dengan Allah dan aku menjadi orang yang durhaka pada Allah’.
Haritsah bin Wahb Al Khuzai’i berkata bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda;
“Mahukah kamu aku beritahu tentang penduduk neraka ? Mereka semua adalah orang-orang keras lagi kasar, tamak lagi rakus, dan sombong.“ (HR. Bukhari).
Dengan lafaz سْــــــــــــــــــمِ-اﷲِالرَّحْمَنِ-اارَّحِيم
Allahumma Ya Rahman Ya Rahim Ya Mujib,
Jadikanlah kami menjadi sebaik-baiknya Hamba-Mu dan jauhkan kami dari kelalaian, kekufuran, kefakiran, sifat sombong diri serta melakukan sebarang kemaksiatan. Allahumma Ameen.
Dan berpesan-pesanlah kamu dengan kebaikan dan kesabaran.