Makna Zikir – Syeikh Ibnu Atha’illah

Menurut Syeikh Ibnu Athaillah, zikir adalah melepaskan diri dari kelalaian dengan selalu menghadirkan kalbu bersama al-Haqq (Allah).

Pendapat lain mengatakan bahawa zikir adalah mengulang-ulang nama Allah di dalam hati mahupun melalui lisan. Hal tersebut dilakukan dengan mengingat lafaz jalalah (Allah), sifatNya, hukumNya, perbuatanNya atau suatu tindakan yang serupa.

Zikir boleh pula berupa doa, mengingat para RasulNya, NabiNya, WaliNya, dan orang orang yang memiliki kedekatan denganNya, serta boleh pula berupa takarub kepadaNya melalui sarana dan perbuatan tertentu seperti membaca, mengingat, bersyair, menyanyi, ceramah, dan bercerita.

Maka, dengan pemahaman seperti ini, mereka yang berbicara tentang kebenaran Allah, atau yang merenungkan keagungan, kemuliaan, dan tanda-tanda kekuasaanNya di langit dan di bumi, atau yang mengerjakan perintahNya dan menjauhi laranganNya sesungguhnya (dengan berbuat demikian) mereka sedang melakukan zikir.

Zikir boleh dilakukan dengan lisan, kalbu, anggota badan, ataupun dengan ucapan yang terdengar orang. Orang yang berzikir dengan mengabungkan semua unsur tersebut berarti telah melakukan zikir secara sempurna.

Menurut Syeikh Ibnu Athaillah, zikir lisan adalah zikir dengan kata kata semata, tanpa kehadiran kalbu (hudhur). Zikir ini adalah zikir lahiriah yang memiliki keutamaan besar seperti yang ditunjukkan oleh beberapa ayat Al-Quran, hadis, dan atsar.

Zikir lisan terbagi dalam beberapa bahagian. Ada yang terikat dengan waktu dan tempat, serta ada pula yang bebas (tidak ditentukan tempat dan waktunya).

Zikir yang terikat, misalnya bacaan ketika shalat dan setelah shalat, bacaan ketika haji, sebelum tidur, setelah bangun, sebelum makan, ketika menaiki kenderaan, zikir di waktu pagi dan petang, dan seterusnya.

Sementara yang tidak terikat dengan waktu, tempat, ataupun keadaan, misalnya pujian kepada Allah seperti dalam untaian kalimat; Subhana Allah wa al-hamdu li Allah wa la ilaha illa Allah wa Allah akbar wa la hawla wa la quwwata illa bi Allah al-‘aly al-‘azhim (Maha Suci Allah, segala puji bagi-Nya, tiada tuhan selainNya, dan Allah Mahabesar, tiada daya dan kekuatan kecuali dan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Besar).”

Contoh lainnya adalah zikir berupa doa seperti, “Rabbana la tu’akhidzna in nasina aw akhtha’na…,” atau munajat lainnya.

Selain itu, terdapat pula bacaan selawat atas Nabi SAW yang akan memberi pengaruh lebih besar ke dalam kalbu para pemula daripada zikir yang tidak disertai munajat.

Kerana, orang yang bermunajat, kalbunya merasa dekat dengan Allah. Ia termasuk sarana yang memberikan pengaruh tertentu dan menghiaskan rasa takut pada kalbu.

Zikir lisan ada yang bersifat ri’ayah misalnya ketika mengucapkan kalimat, “Allah bersamaku, Allah melihatku.” Ucapan tersebut mengandungi usaha untuk menjaga kemaslahatan kalbu.

Ia adalah zikir untuk memperkuat kehadiran kalbu bersama Allah, memelihara etika di hadapanNya, menjaga diri dari sikap lalai, berlindung dari syaitan terkutuk, dan untuk khusyuk dalam ibadah.”

Syeikh Ibnu Athaillah
Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s